Politik santunan saat kampanye

Politik Santunan: Bayangan di Musim Kampanye

Setiap musim kampanye tiba, kita sering menyaksikan fenomena di mana para kandidat, baik itu calon legislatif maupun eksekutif, memberikan berbagai bentuk ‘santunan’, mulai dari sembako, uang tunai, hingga janji-janji proyek. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai ‘politik santunan’, bukanlah sekadar tindakan kedermawanan biasa, melainkan strategi yang sarat kepentingan politik untuk meraih simpati dan suara pemilih. Meskipun sekilas terlihat membantu, praktik ini menyimpan bahaya serius bagi kualitas demokrasi.

Politik santunan beroperasi dengan menawarkan manfaat langsung kepada pemilih, baik itu bantuan materiil (beras, minyak goreng, seragam), insentif finansial kecil, maupun janji-janji kemudahan akses terhadap layanan publik atau pekerjaan di masa depan. Bagi para kandidat, cara ini dianggap efektif untuk memobilisasi dukungan secara cepat, terutama di kalangan masyarakat yang secara ekonomi rentan. Ini adalah bentuk ‘jual-beli’ suara yang dikemas secara halus, memanfaatkan kebutuhan sesaat demi keuntungan elektoral.

Dampak negatif politik santunan sangat merusak tatanan demokrasi. Pertama, ia menggeser fokus kampanye dari adu gagasan, visi, dan program konkret menjadi adu besaran ‘santunan’. Pemilih didorong untuk memilih berdasarkan gratifikasi instan, bukan pada rekam jejak, kapasitas, atau komitmen calon terhadap pembangunan jangka panjang. Kedua, praktik ini berpotensi melahirkan pemimpin yang tidak berkualitas, karena kemenangan didasarkan pada kekuatan finansial untuk menyantuni, bukan pada integritas atau kompetensi. Ketiga, politik santunan seringkali menjadi pintu masuk bagi korupsi. Dana untuk santunan bisa jadi berasal dari praktik tidak sah, dan ketika terpilih, pemimpin tersebut akan cenderung mengembalikan modal politiknya melalui penyalahgunaan wewenang. Terakhir, ia mengikis kepercayaan publik terhadap proses politik yang bersih dan adil.

Untuk membangun demokrasi yang sehat dan berkualitas, kita perlu secara kolektif menolak politik santunan. Masyarakat harus lebih kritis dan cerdas dalam memilih, menuntut para kandidat untuk menyampaikan visi dan program yang jelas, bukan sekadar janji atau pemberian sesaat. Para kandidat juga memiliki tanggung jawab moral untuk bersaing secara sehat, berbasis meritokrasi dan substansi, demi kemajuan bangsa yang berkelanjutan.

Exit mobile version