Politik Ritual Keagamaan: Strategi Meraup Suara dalam Lanskap Demokrasi Indonesia
Dalam lanskap politik Indonesia yang sangat plural, agama seringkali tak hanya menjadi dimensi personal, tetapi juga arena strategis untuk meraih dukungan elektoral. Salah satu manifestasinya adalah "politik ritual keagamaan," sebuah pendekatan di mana simbol, narasi, dan praktik keagamaan digunakan secara publik oleh aktor politik untuk menarik simpati dan dukungan suara.
Manifestasi dan Tujuan
Politik ritual keagamaan hadir dalam berbagai bentuk. Kita sering melihat calon legislatif atau kepala daerah mengenakan atribut keagamaan, menghadiri acara-acara keagamaan penting, berinteraksi akrab dengan tokoh agama berpengaruh, mengutip ayat-ayat suci dalam pidato, hingga melakukan praktik-praktik spiritual yang dipublikasikan.
Tujuan utamanya jelas: meraih suara. Dengan menampilkan diri sebagai sosok yang religius, bermoral, dan dekat dengan nilai-nilai keagamaan, politisi berharap dapat membangun citra positif di mata pemilih. Ini menciptakan ikatan emosional, membangun kepercayaan, dan seringkali memicu rasa identitas bersama, terutama di kalangan komunitas pemilih yang sangat agamis. Bagi sebagian pemilih, kandidat yang menunjukkan ketaatan ritual dianggap lebih amanah dan mampu mewakili aspirasi moral mereka.
Dampak dan Risiko
Efektivitas politik ritual keagamaan tidak dapat dipungkiri. Ia mampu memobilisasi massa, menarik simpati pemilih tradisional, dan bahkan menggeser pandangan pemilih yang masih ragu. Namun, praktik ini juga menyimpan sejumlah risiko dan tantangan.
Pertama, adanya potensi instrumentalisasi agama. Agama yang seharusnya menjadi panduan spiritual dan moral, dapat direduksi menjadi sekadar alat politik untuk mencapai kekuasaan. Ini berisiko mengikis nilai-nilai luhur agama itu sendiri dan menjadikannya komoditas politik.
Kedua, dapat memicu polarisasi dan intoleransi. Ketika ritual keagamaan digunakan untuk membangun basis dukungan eksklusif, hal itu dapat menciptakan batas-batas tajam antara kelompok pemilih berdasarkan identitas agama, bahkan berujung pada narasi yang mendiskreditkan kelompok lain.
Ketiga, munculnya fenomena "kemunafikan politik." Masyarakat menjadi skeptis ketika melihat politisi yang sangat religius di panggung publik, namun perilakunya di balik layar bertentangan dengan nilai-nilai yang ia tunjukkan. Ini bisa mengikis kepercayaan publik terhadap politisi secara keseluruhan.
Kesimpulan
Politik ritual keagamaan adalah fenomena yang kompleks dan pedang bermata dua. Ia bisa menjadi jembatan antara politisi dan pemilih yang saleh, namun juga berpotensi merusak esensi agama dan memecah belah masyarakat. Dalam konteks demokrasi yang matang, penting bagi politisi untuk mengedepankan integritas dan program kerja yang substantif, bukan hanya sekadar pertunjukan ritual. Demikian pula, pemilih dituntut untuk lebih cerdas dalam menilai, membedakan mana ketulusan dan mana sekadar gimik politik untuk meraup suara.
