Program Keluarga Harapan dan Dimensi Politiknya: Lebih dari Sekadar Bantuan Sosial
Program Keluarga Harapan (PKH) adalah salah satu instrumen utama pemerintah Indonesia dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sebagai program bantuan sosial bersyarat, PKH bertujuan memutus rantai kemiskinan antargenerasi melalui akses pendidikan, kesehatan, dan gizi bagi keluarga penerima manfaat. Namun, di balik tujuan mulia dan mekanisme teknisnya, PKH tak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang melingkupinya.
Secara esensi, PKH dirancang sebagai program sosial-ekonomi yang apolitis, berfokus pada data dan kriteria objektif untuk menentukan kelayakan penerima. Dana yang digelontorkan adalah anggaran negara yang besar, mencerminkan komitmen fiskal pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat. Inilah titik di mana PKH mulai bersentuhan dengan ranah politik.
Pertama, dari sisi kebijakan dan anggaran. Alokasi dana PKH merupakan hasil dari debat dan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif. Setiap kenaikan atau perubahan kebijakan PKH, termasuk perluasan cakupan atau penyesuaian besaran bantuan, akan selalu menjadi bagian dari narasi keberpihakan pemerintah atau janji kampanye politik. Para pemangku kepentingan politik seringkali menggunakan PKH sebagai bukti nyata komitmen mereka terhadap rakyat miskin.
Kedua, dimensi pencitraan dan elektoral. Dalam periode menjelang pemilihan umum, PKH seringkali menjadi komoditas politik yang hangat. Keberhasilan program dalam mengurangi angka kemiskinan atau meningkatkan akses layanan dasar dapat diklaim sebagai prestasi partai atau kandidat tertentu. Di sisi lain, isu-isu terkait penyaluran yang tidak tepat sasaran atau potensi politisasi dalam pendataan dan verifikasi penerima juga dapat menjadi amunisi kritik politik. Hal ini menimbulkan tantangan untuk memastikan bahwa PKH tetap fokus pada tujuan sosialnya, tanpa terdistorsi oleh kepentingan elektoral jangka pendek.
Ketiga, aspek implementasi di lapangan. Meskipun secara nasional PKH memiliki pedoman yang jelas, dinamika politik lokal dapat memengaruhi pelaksanaannya. Ada kekhawatiran tentang potensi intervensi politik dalam penentuan atau penyaluran bantuan di beberapa daerah, yang bisa mengancam prinsip akuntabilitas dan transparansi program.
Singkatnya, PKH adalah program yang secara inheren memiliki tujuan sosial yang kuat, namun keberadaannya dalam sistem pemerintahan demokratis menjadikannya tak terhindarkan dari sentuhan politik. Tantangannya adalah bagaimana menjaga integritas PKH, memastikan bahwa ia tetap menjadi instrumen efektif untuk kesejahteraan rakyat, dan tidak sekadar menjadi alat untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Fokus harus selalu pada peningkatan kualitas hidup keluarga miskin, bukan pada keuntungan politik sesaat.