Politik korban bencana

Politik Korban Bencana: Antara Simpati dan Komodifikasi

Bencana alam, dalam esensinya, adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya memicu simpati dan solidaritas. Namun, tak jarang, musibah ini justru menjadi panggung bagi intrik politik, melahirkan apa yang disebut "politik korban bencana". Ini adalah fenomena di mana penderitaan para korban—kebutuhan akan tempat tinggal, makanan, atau pemulihan—dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral atau citra politik.

Para pejabat dan politisi seringkali berlomba-lomba hadir di lokasi bencana, menyampaikan janji bantuan, dan tak jarang diiringi narasi saling menyalahkan antarpihak. Bantuan yang seharusnya murni kemanusiaan bisa disisipi agenda tersembunyi, mengubah simpati publik menjadi modal politik. Proses distribusi bantuan bisa dipolitisasi, atau janji-janji rekonstruksi menjadi komoditas kampanye yang tak selalu terealisasi.

Ironisnya, di tengah pusaran politik ini, para korban seringkali menjadi pihak yang paling dirugikan. Kebutuhan esensial mereka terabaikan atau tertunda karena proses birokrasi yang dipolitisasi. Mereka kehilangan agensi, berubah dari subjek yang berhak mendapat pertolongan menjadi objek narasi politik. Kepercayaan publik terhadap pemerintah atau lembaga terkait pun bisa terkikis, melihat bahwa penderitaan mereka hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan atau popularitas.

Mengakhiri politik korban bencana berarti mengembalikan fokus pada esensi kemanusiaan: memberikan bantuan yang tulus, cepat, dan transparan tanpa pamrih politik. Kesejahteraan dan pemulihan korban harus menjadi prioritas utama, jauh dari sorotan kamera dan janji-janji kosong. Bencana seharusnya menjadi momen untuk bersatu, bukan memecah belah demi kekuasaan.

Exit mobile version