Politik Dakwah Politik: Menjelajahi Simpul Idealisme dan Realisme
Dalam lanskap sosial dan politik, seringkali kita menemukan dua entitas yang seolah terpisah namun sejatinya saling meresap: dakwah dan politik. Fenomena inilah yang dapat kita sebut sebagai ‘Politik Dakwah Politik’ – sebuah irisan kompleks di mana upaya menyeru kebaikan dan kebenaran (dakwah) berinteraksi dengan dinamika kekuasaan dan tata kelola negara (politik). Ia bukan sekadar penggunaan politik sebagai alat dakwah, melainkan sebuah keyakinan bahwa dakwah itu sendiri memiliki dimensi politik, dan politik yang ideal harus berlandaskan nilai-nilai dakwah.
Pada intinya, Politik Dakwah Politik lahir dari pemahaman bahwa Islam adalah agama yang syamil (komprehensif), tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) tetapi juga hubungan sesama manusia (habluminannas) dan tata kelola masyarakat. Konsep amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran) tidak berhenti pada ranah individu, melainkan meluas hingga membentuk tatanan sosial yang adil dan beradab. Oleh karena itu, perjuangan politik dipandang sebagai bagian integral dari dakwah itu sendiri – sebuah upaya sistematis untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan moralitas ilahiah dalam struktur negara dan kebijakan publik.
Namun, implementasi Politik Dakwah Politik tak lepas dari tantangan dan kompleksitas realitas. Ketika dakwah masuk ke arena politik praktis, ia berhadapan dengan intrik kekuasaan, kompromi pragmatis, dan tarik-menarik kepentingan. Risiko terbesar adalah ketika tujuan dakwah yang luhur – transformasi moral dan spiritual – terkikis oleh ambisi politik semata. Politik bisa menjadi tujuan itu sendiri, bukan lagi sarana dakwah, yang berpotensi melahirkan eksklusivitas, intoleransi, atau bahkan praktik yang bertentangan dengan esensi ajaran Islam itu sendiri. Mempertahankan integritas spiritual dan etika dakwah di tengah hiruk-pikuk politik adalah ujian sesungguhnya.
Pada akhirnya, Politik Dakwah Politik adalah sebuah medan dialektika antara idealisme dan realisme. Ia mengingatkan kita bahwa dakwah bukan hanya tentang retorika keagamaan, melainkan juga tentang bagaimana nilai-nilai luhur itu diwujudkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara konkret. Kuncinya terletak pada kebijaksanaan: bagaimana berpolitik tanpa kehilangan jiwa dakwah, bagaimana memperjuangkan kebaikan publik tanpa terjebak dalam pusaran kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Tujuan akhirnya harus tetaplah rahmatan lil alamin – membawa kemaslahatan bagi seluruh alam, yang terwujud bukan hanya melalui kekuatan politik, melainkan juga melalui kekuatan transformasi hati dan masyarakat yang berlandaskan moralitas profetik.
