Politik bansos ditunggangi

Politik Bansos: Ketika Kebaikan Ditunggangi Kepentingan

Bantuan sosial (bansos) adalah instrumen krusial negara untuk melindungi kelompok rentan dan mengurangi kemiskinan. Tujuannya mulia: memastikan kesejahteraan dasar terpenuhi dan menciptakan jaring pengaman sosial. Namun, dalam realitas politik praktis, bansos seringkali kehilangan kemurniannya dan justru menjadi alat yang ditunggangi kepentingan elektoral.

Fenomena "politik bansos" ini bukan hal baru. Menjelang pemilihan umum atau bahkan di luar itu, program bansos kerap dimanfaatkan oleh figur politik atau partai untuk membangun citra positif dan meraih simpati pemilih. Modusnya beragam: mulai dari penyerahan bantuan yang dibarengi dengan simbol atau logo partai/kandidat, klaim keberhasilan personal atas program pemerintah, hingga penggunaan data penerima untuk tujuan kampanye. Sasaran utamanya jelas: mengkonversi bantuan menjadi suara atau dukungan politik.

Dampak dari politisasi bansos ini sangat merugikan. Pertama, ia mengikis kepercayaan publik terhadap netralitas program pemerintah. Masyarakat menjadi skeptis, melihat bansos bukan lagi sebagai hak, melainkan sedekah politik yang bersyarat. Kedua, tujuan mulia bansos untuk memberdayakan dan menyejahterakan terdistorsi, berubah menjadi alat transaksional jangka pendek yang menciptakan ketergantungan. Ketiga, praktik ini berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam distribusi, di mana bantuan bisa jadi lebih mudah diakses oleh mereka yang memiliki afiliasi politik tertentu.

Untuk mengembalikan marwah bansos, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak. Pengawasan harus diperketat, transparansi ditingkatkan, dan netralitas aparatur negara dalam penyaluran bansos harus menjadi prioritas mutlak. Bansos adalah hak rakyat, bukan komoditas politik. Hanya dengan begitu, bantuan sosial dapat berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai jaring pengaman sosial yang murni, bebas dari bayang-bayang kepentingan politik sesaat.

Exit mobile version