Tabligh Akbar, Politik, dan Kekuatan Suara Senyap
Tabligh akbar, sebagai forum dakwah dan silaturahmi keagamaan berskala besar, sejatinya adalah ruang suci untuk memperkuat keimanan, menyebarkan nilai-nilai moral, dan mempererat tali persaudaraan umat. Namun, dalam lanskap sosial-politik Indonesia, tak jarang acara-acara semacam ini menjadi panggung yang menarik perhatian politisi dan memiliki resonansi yang melampaui batas-batas spiritual.
Bagi politisi, kehadiran di tabligh akbar bukan sekadar partisipasi keagamaan. Ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kedekatan dengan umat, mencari legitimasi moral, dan bahkan secara tidak langsung menyampaikan pesan politik. Kehadiran figur publik di tengah kerumunan jemaah yang taat seringkali diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan atau restu, yang dapat meningkatkan citra dan elektabilitas.
Dampak politis dari tabligh akbar seringkali tidak bersifat eksplisit melalui kampanye terbuka atau ajakan memilih. Namun, melalui pesan-pesan moral, nasihat kebangsaan, atau bahkan isyarat non-verbal dari para ulama/dai terkemuka, opini dan preferensi pemilih dapat terbentuk secara sublim. Emosi keagamaan yang kuat dapat diterjemahkan menjadi pilihan politik, meskipun tanpa instruksi langsung.
Inilah yang sering disebut "suara senyap" (silent vote)—pilihan politik yang terbentuk di balik layar kesucian mimbar, tanpa perlu diutarakan secara lantang, namun memiliki bobot signifikan di bilik suara. Jemaah yang hadir dan merasakan koneksi spiritual atau mendengarkan pesan dari figur yang dihormati, cenderung membawa pulang preferensi tersebut dan menerjemahkannya dalam keputusan politik mereka. Suara ini sulit diukur oleh survei konvensional, namun dampaknya bisa sangat menentukan.
Namun, persimpangan antara mimbar dan panggung politik ini juga menyimpan tantangan. Risiko utamanya adalah potensi politisasi agama, di mana nilai-nilai spiritual dapat disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis kekuasaan. Hal ini bisa mengikis esensi dakwah dan bahkan memecah belah umat berdasarkan pilihan politik.
Pada akhirnya, tabligh akbar tetaplah entitas keagamaan yang semestinya menjaga netralitas dari hiruk-pikuk politik praktis. Namun, sebagai fenomena sosial yang melibatkan massa, interaksinya dengan ranah politik tak terhindarkan. Kekuatan "suara senyap" yang terbentuk dari resonansi spiritual dan aspirasi keumatan ini adalah bukti bahwa di tengah hiruk-pikuk kampanye, bisikan keyakinan dapat menjadi penentu arah, jauh lebih kuat dari sekadar janji-janji politik.