Politik Pembangunan Masjid dalam Arena Kampanye: Antara Niat Suci dan Kepentingan Elektoral
Masjid, sebagai pusat ibadah dan simpul kehidupan sosial-keagamaan umat Muslim, memegang peran sentral dalam masyarakat. Keberadaannya bukan sekadar bangunan fisik, melainkan juga simbol identitas, kebersamaan, dan spiritualitas. Dalam konteks politik, terutama menjelang atau selama masa kampanye pemilihan, pembangunan atau renovasi masjid seringkali menjadi isu yang mencuat, menghadirkan dinamika menarik antara kebutuhan riil umat dan strategi elektoral para politisi.
Masjid Sebagai Daya Tarik Politik
Daya tarik masjid bagi arena politik terletak pada kekuatannya sebagai titik kumpul massa dan representasi nilai-nilai keagamaan. Bagi seorang calon atau petahana, janji untuk membangun atau merenovasi masjid dapat menjadi cara efektif untuk menunjukkan komitmen terhadap umat, memperkuat citra sebagai pemimpin yang saleh, serta meraih simpati dan dukungan suara. Partisipasi dalam acara peletakan batu pertama, sumbangan dana pribadi, atau fasilitasi izin pembangunan seringkali menjadi momen yang dieksploitasi untuk kepentingan pencitraan.
Para politisi kerap memasukkan program pembangunan infrastruktur keagamaan, termasuk masjid, dalam visi dan misi kampanye mereka. Argumen yang disampaikan biasanya berpusat pada pemenuhan kebutuhan dasar umat akan tempat ibadah yang layak dan representatif. Tentu saja, pembangunan masjid memang seringkali menjadi kebutuhan mendesak bagi komunitas yang berkembang atau di daerah yang belum memiliki fasilitas memadai.
Dilema dan Risiko Instrumentalitas
Namun, fenomena ini tidak lepas dari perdebatan. Di satu sisi, jika didasari niat tulus untuk melayani dan memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat, pembangunan masjid yang difasilitasi oleh pemerintah atau politisi adalah bentuk pelayanan publik yang patut dihargai. Ini bisa menjadi sinergi positif antara kekuasaan dan kebutuhan rakyat.
Di sisi lain, ada risiko instrumentalitas. Janji pembangunan masjid bisa saja hanya menjadi ‘gula-gula’ politik atau taktik jangka pendek untuk menarik suara, tanpa perencanaan matang, keberlanjutan, atau evaluasi kebutuhan riil. Kekhawatiran muncul ketika masjid yang seharusnya menjadi ruang sakral dan independen, justru ditarik ke dalam pusaran politik praktis. Penggunaan masjid sebagai panggung kampanye, atau janji pembangunan yang tidak terealisasi setelah pemilu, dapat mengikis kepercayaan publik dan bahkan menodai kesucian fungsi masjid itu sendiri.
Kesimpulan
Politik pembangunan masjid dalam kampanye adalah cerminan kompleksitas hubungan antara agama, masyarakat, dan kekuasaan. Penting bagi masyarakat untuk cerdas membedakan antara niat tulus melayani kebutuhan umat dengan manuver politik semata. Pada akhirnya, pembangunan masjid harus didasari pada kebutuhan nyata dan kemaslahatan jangka panjang umat, bukan sekadar menjadi alat untuk meraup suara atau membangun citra sesaat. Masjid harus tetap menjadi pusat spiritual dan sosial yang independen, jauh dari kepentingan politik praktis, demi keberlangsungan fungsi mulianya.