Politik tuna wisma tidak terurus

Bayangan di Sudut Kota: Ketika Politik Melupakan Tuna Wisma

Di setiap kota besar, mereka ada: sosok-sosok yang tidur di emperan toko, di bawah jembatan, atau di bangku taman. Mereka adalah para tuna wisma, wajah nyata dari kemiskinan ekstrem dan keterasingan sosial. Namun, di tengah hiruk pikuk diskursus politik dan janji-janji kampanye, masalah tuna wisma seringkali menjadi bayangan yang terabaikan, jauh dari prioritas utama para pembuat kebijakan.

Kehidupan di jalanan adalah perjuangan harian melawan kelaparan, penyakit, cuaca ekstrem, dan kekerasan. Mereka adalah kelompok yang paling terpinggirkan, seringkali tanpa suara dalam sistem demokrasi yang seharusnya mewakili semua warganya. Ironisnya, ketiadaan "suara" inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa masalah mereka jarang mendapat perhatian serius dari ranah politik.

Mengapa masalah ini begitu sering terpinggirkan dari agenda politik? Salah satu alasannya adalah minimnya kekuatan politik mereka. Tuna wisma tidak memiliki alamat tetap, seringkali tidak terdaftar sebagai pemilih, sehingga tidak dianggap sebagai ‘basis suara’ yang signifikan oleh para politisi. Para pembuat kebijakan cenderung fokus pada isu-isu yang memberikan hasil cepat dan terlihat, atau yang dapat menarik dukungan elektoral besar. Penanganan masalah tuna wisma, di sisi lain, membutuhkan pendekatan jangka panjang, holistik, dan sumber daya besar yang seringkali tidak ‘seksi’ secara politis. Stigma sosial juga memainkan peran, membuat isu ini kurang ‘populer’ untuk diangkat.

Akibatnya, lingkaran setan kemiskinan dan keterasingan terus berputar. Program-program bantuan yang ada seringkali bersifat ad-hoc dan tidak berkelanjutan, gagal mengatasi akar masalah seperti kurangnya akses perumahan terjangkau, layanan kesehatan mental, atau kesempatan kerja. Ketiadaan kebijakan komprehensif yang diinisiasi oleh pemerintah pusat maupun daerah menunjukkan kegagalan politik dalam melihat setiap individu sebagai bagian integral dari masyarakat yang berhak atas martabat dan kesejahteraan.

Sudah saatnya politisi melihat melampaui perhitungan suara dan mengakui bahwa martabat manusia tidak mengenal status sosial atau kepemilikan alamat. Penanganan tuna wisma bukan sekadar masalah kemanusiaan, tetapi cerminan komitmen sebuah negara terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh warganya. Mengabaikan mereka adalah mengabaikan sebagian dari diri kita sendiri sebagai sebuah bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *