Politik Pelatihan Tanpa Jejak: Ketika Anggaran Bertemu Ilusi Perbaikan
Dalam dunia korporasi dan birokrasi, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) sering digadang sebagai pilar kemajuan. Namun, di balik narasi ideal ini, tersembunyi sebuah fenomena yang kurang disorot: "politik pelatihan tanpa hasil." Ini adalah praktik penyelenggaraan pelatihan yang motivasinya bukan murni peningkatan kapasitas, melainkan lebih pada pemenuhan target, penyerapan anggaran, atau sekadar menciptakan citra pro-kemajuan.
Mengapa Ini Terjadi?
Seringkali, pelatihan menjadi alat politik. Sebuah divisi mungkin diwajibkan menghabiskan anggaran pelatihan sebelum akhir tahun fiskal, tanpa memandang relevansi atau kebutuhan riil. Di sisi lain, pimpinan bisa menggunakan pelatihan sebagai ‘bukti’ telah melakukan upaya pengembangan, meskipun materi yang disajikan generik, tidak aplikatif, dan tidak diikuti dengan evaluasi dampak yang serius. Ini adalah pertunjukan, bukan substansi.
Ciri-ciri Pelatihan Tanpa Hasil:
- Konten Generik: Materi yang disajikan seringkali tidak disesuaikan dengan kebutuhan spesifik organisasi atau individu.
- Minim Relevansi: Peserta merasa apa yang dipelajari tidak dapat diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari.
- Absennya Evaluasi Dampak: Tidak ada mekanisme terukur untuk menilai apakah pelatihan benar-benar meningkatkan kinerja atau keterampilan.
- Motivasi Peserta Rendah: Kehadiran seringkali bersifat wajib, bukan atas dasar keinginan untuk belajar, sehingga partisipasi pasif.
- Seremonial: Fokus lebih pada proses administratif dan penyerahan sertifikat daripada transfer pengetahuan dan keterampilan.
Dampak yang Merugikan:
Politik pelatihan tanpa hasil memiliki konsekuensi serius. Pertama, pemborosan anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk inisiatif yang lebih produktif. Kedua, pemborosan waktu dan energi baik bagi penyelenggara maupun peserta. Ketiga, dan yang paling krusial, menciptakan budaya sinisme dan demotivasi di kalangan pegawai. Mereka akan melihat pelatihan sebagai formalitas belaka, mengikis kepercayaan terhadap program pengembangan di masa depan. Akibatnya, organisasi stagnan, kehilangan kesempatan untuk benar-benar berinovasi dan beradaptasi.
Sudah saatnya kita beralih dari politik pelatihan yang bersifat seremonial menuju pendekatan yang berorientasi pada hasil nyata. Investasi pada SDM haruslah strategis, terukur, dan berdampak, bukan sekadar ilusi perbaikan demi memenuhi kepentingan politik internal.