Politik Doa Elite: Ketika Spiritual Bertemu Strategi
Pemandangan para elite politik, baik di panggung nasional maupun lokal, berkumpul dalam sebuah sesi doa bersama bukanlah hal asing. Ritual ini seringkali disajikan sebagai manifestasi spiritualitas dan komitmen moral. Namun, di balik aura kesakralan tersebut, terselip dimensi politik yang tak kalah menarik untuk dicermati.
Secara kasat mata, doa bersama para elite dapat dimaknai sebagai upaya kolektif memohon bimbingan Ilahi untuk bangsa dan negara, mengindikasikan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kekuasaan datang dari Yang Maha Kuasa. Hal ini juga membangun narasi positif di mata publik, menampilkan pemimpin sebagai sosok yang religius, peduli, dan berlandaskan nilai-nilai luhur. Dalam konteks ini, doa menjadi simbol harapan, persatuan, dan moralitas publik.
Namun, realitas politik seringkali menempatkan doa bersama dalam kerangka strategi yang lebih pragmatis. Ia menjadi instrumen untuk membangun legitimasi moral dan spiritual kekuasaan. Pencitraan positif melalui ritual keagamaan dapat mengikis persepsi negatif atau mengalihkan perhatian dari isu-isu kontroversial. Doa bersama juga dapat berfungsi sebagai simbol persatuan di tengah polarisasi, atau alat konsolidasi dukungan dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Dalam konteks ini, doa bukan sekadar ekspresi iman, melainkan bagian dari ‘panggung’ politik yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.
Dengan demikian, politik doa elite adalah fenomena dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia bisa menjadi ekspresi ketulusan iman dan kerendahan hati; di sisi lain, ia adalah manuver cerdik dalam lanskap politik untuk meraih simpati, mengukuhkan legitimasi, atau bahkan mengalihkan fokus. Masyarakat dituntut untuk bijak dalam menyikapi fenomena ini, mampu membedakan antara spiritualitas murni dan kalkulasi politik. Karena pada akhirnya, doa yang sejati adalah komunikasi pribadi dengan Tuhan, bukan sekadar komoditas politik untuk meraih simpati dan kekuasaan.