Politik Cagar Budaya: Ketika Warisan Dijadikan Proyek Pembangunan
Cagar budaya, dengan segala nilai sejarah, estetika, dan spiritualnya, sejatinya adalah penanda peradaban dan identitas suatu bangsa. Namun, dalam lanskap pembangunan modern, tak jarang kita menyaksikan bagaimana warisan berharga ini mulai bergeser statusnya: dari objek pelestarian menjadi "proyek" pembangunan. Fenomena ini, yang kental dengan nuansa politik, membawa dilema tersendiri.
Mengapa Cagar Budaya Menjadi Proyek?
Pergeseran ini bukanlah tanpa alasan. Dalam banyak kasus, cagar budaya dipandang memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama melalui pariwisata. Pemerintah daerah atau pusat seringkali melihatnya sebagai aset strategis untuk menarik investasi, meningkatkan pendapatan asli daerah, dan menciptakan lapangan kerja. Dengan status "proyek", cagar budaya dapat dianggarkan secara spesifik, menarik dana besar, dan menjadi indikator keberhasilan pembangunan fisik yang mudah diukur. Pembangunan infrastruktur pendukung, renovasi, atau bahkan "revitalisasi" besar-besaran seringkali dikemas dalam kerangka proyek ini.
Selain itu, kepentingan politik juga berperan. Cagar budaya bisa menjadi alat untuk membangun citra positif pemimpin, menunjukkan kepedulian terhadap sejarah, atau bahkan sebagai simbol prestise suatu wilayah. Pengesahan undang-undang, penetapan kawasan cagar budaya, hingga seremoni peresmian proyek restorasi besar kerap dimanfaatkan untuk kepentingan pencitraan politik.
Dilema dan Risiko Politik Proyek Cagar Budaya
Namun, ketika cagar budaya dijadikan proyek, muncul berbagai tantangan dan risiko. Yang paling utama adalah potensi komersialisasi berlebihan yang mengikis nilai otentik dan sakralnya. Fokus pada target ekonomi dan pembangunan fisik bisa mengabaikan aspek konservasi yang lebih mendalam, partisipasi masyarakat lokal, atau penelitian arkeologis yang seharusnya menjadi pondasi.
Konflik kepentingan juga tak terhindarkan. Antara kepentingan pelestarian murni oleh para ahli konservasi, kepentingan ekonomi oleh sektor swasta, dan kepentingan politik oleh pengambil kebijakan, seringkali terjadi tarik ulur yang berujung pada kompromi yang merugikan warisan itu sendiri. Komunitas lokal, yang seharusnya menjadi penjaga dan pewaris utama, kadang justru termarginalisasi atau hanya dijadikan objek semata dalam narasi proyek.
Menuju Pelestarian Berbasis Nilai, Bukan Sekadar Proyek
Maka, tantangan ke depan adalah bagaimana mengelola cagar budaya dengan visi jangka panjang yang berpusat pada nilai-nilai luhur, bukan sekadar angka-angka proyek. Diperlukan kebijakan yang transparan dan akuntabel, melibatkan multi-pihak (pemerintah, akademisi, masyarakat, swasta) dengan porsi yang seimbang. Partisipasi aktif masyarakat lokal harus menjadi inti, bukan tempelan.
Cagar budaya seharusnya dipandang sebagai entitas hidup yang membutuhkan perawatan berkelanjutan, bukan sekadar "proyek" yang selesai setelah peresmian. Hanya dengan demikian, warisan peradaban ini dapat tetap lestari dan bermakna bagi generasi sekarang maupun yang akan datang, bebas dari jebakan kepentingan sesaat.