Politik anak jalanan dan politik

Politik Anak Jalanan: Antara Realitas Bertahan Hidup dan Kebijakan Negara

Anak jalanan seringkali dianggap sebagai "masalah sosial" atau sekadar korban dari sistem. Namun, di balik narasi tersebut, terdapat sebuah "politik" yang kompleks dan tak terlihat, yang berinteraksi langsung dengan politik formal negara. Memahami politik anak jalanan berarti memahami dua dimensi yang berbeda namun saling memengaruhi.

Politik Bertahan Hidup: Daya Tawar di Jalanan

Bagi anak jalanan, politik adalah tentang bertahan hidup. Ini bukan politik parlemen atau pemilu, melainkan politik sehari-hari dalam merebut ruang, sumber daya, dan pengakuan. Mereka membentuk jaringan informal, hierarki kelompok, dan aturan tak tertulis untuk menjaga keamanan, berbagi makanan, atau menghadapi ancaman. Ada negosiasi dengan sesama, dengan preman, bahkan dengan aparat. Mereka mengembangkan "daya tawar" untuk mendapatkan uang, tempat tidur, atau sekadar ketenangan. Ini adalah politik yang sangat personal, taktis, dan responsif terhadap kondisi jalanan yang keras. Mereka adalah subjek yang aktif, meskipun dalam batasan yang sangat sempit.

Politik Formal: Kebijakan yang Sering Abai

Di sisi lain, ada politik formal yang digerakkan oleh negara. Kebijakan publik, undang-undang, dan program sosial seharusnya dirancang untuk melindungi dan memberdayakan mereka. Namun, seringkali, politik negara melihat anak jalanan sebagai objek "penertiban" atau "pembersihan kota" daripada warga negara dengan hak. Program rehabilitasi seringkali bersifat sporadis, tidak berkelanjutan, atau bahkan represif. Janji-janji politik seringkali hanya menjadi retorika tanpa implementasi konkret. Suara anak jalanan nyaris tidak pernah terdengar di koridor kekuasaan, menjadikan mereka kelompok yang paling rentan terhadap kebijakan yang bias atau absen.

Jurang Pemisah dan Harapan

Ada jurang pemisah yang lebar antara politik bertahan hidup anak jalanan dan politik formal negara. Yang satu adalah tentang keberlangsungan hidup di garis batas, yang lain adalah tentang kekuasaan dan regulasi dari atas. Kesenjangan ini menciptakan lingkaran kemiskinan dan marginalisasi yang sulit diputus.

Mengakui politik anak jalanan berarti mengakui agensi mereka dan memahami bahwa mereka bukan sekadar objek belas kasihan, melainkan individu dengan strategi dan adaptasi yang luar biasa. Tantangannya bagi politik formal adalah bergeser dari pendekatan "penertiban" menjadi pendekatan yang manusiawi dan inklusif, yang mengakui martabat mereka, melibatkan suara mereka, dan menciptakan kebijakan yang benar-benar memfasilitasi mereka untuk keluar dari jalanan menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Tanpa jembatan ini, politik anak jalanan akan terus menjadi perjuangan sunyi di pinggir kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *