Politik festival budaya jadi alat kampanye

Panggung Budaya, Arena Politik: Ketika Festival Jadi Alat Kampanye

Festival budaya, dengan segala kemeriahan dan kekayaannya, seharusnya menjadi ruang murni ekspresi seni, tradisi, dan kebersamaan. Namun, di tengah hiruk pikuk politik modern, panggung-panggung budaya ini sering kali tak luput dari bidikan kepentingan elektoral, bertransformasi menjadi arena kampanye yang terselubung.

Mengapa Festival Budaya Begitu Menarik bagi Politisi?

Pertama, jangkauan audiens yang luas dan beragam. Festival mampu menarik ribuan hingga jutaan orang dari berbagai latar belakang, menyediakan platform ‘siap pakai’ untuk berinteraksi dengan calon pemilih. Kedua, atmosfer yang cair dan non-formal. Berbeda dengan kampanye rapat umum yang kaku, festival memungkinkan interaksi yang lebih santai dan personal, membangun citra politisi yang merakyat dan dekat dengan rakyat.

Modusnya pun bervariasi. Mulai dari kehadiran politisi sebagai ‘tamu kehormatan’ yang kemudian diberi waktu berpidato singkat – yang seringkali disisipi pesan-pesan politik – hingga penggunaan logo partai atau warna identitas kampanye secara samar dalam atribut acara. Sponsorship partai atau calon tertentu pada acara festival juga menjadi cara halus untuk membangun asosiasi positif. Tak jarang, seniman atau budayawan yang tampil juga ‘dimanfaatkan’ untuk menyampaikan narasi tertentu yang mendukung agenda politik.

Ancaman terhadap Esensi Budaya

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius. Esensi festival budaya yang seharusnya netral dan fokus pada pelestarian serta pengembangan budaya menjadi terdistorsi. Kekayaan tradisi dan seni berisiko tereduksi menjadi sekadar latar belakang atau ‘gimmick’ politik. Publik pun bisa menjadi sinis, melihat setiap kegiatan budaya dengan kacamata kecurigaan, mengikis kepercayaan pada otentisitas acara tersebut.

Pada akhirnya, politisasi festival budaya adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang menawarkan cara efektif bagi politisi untuk mendekati pemilih. Namun, di sisi lain, ia mengancam integritas dan kemurnian budaya itu sendiri. Penting bagi kita semua – baik penyelenggara, seniman, budayawan, maupun masyarakat – untuk menjaga agar festival budaya tetap menjadi ruang suci yang merayakan identitas dan kreativitas, bukan sekadar panggung bagi ambisi elektoral.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *