Kurban dan Politik Distribusi: Antara Ibadah dan Citra
Hari Raya Idul Adha selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu, bukan hanya karena ibadah kurban itu sendiri, tetapi juga karena semangat berbagi yang menyertainya. Daging kurban didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan, menguatkan tali persaudaraan dan kepedulian sosial. Namun, di balik kemuliaan ibadah ini, seringkali muncul dimensi lain yang tak terhindarkan: politik distribusi.
Esensi kurban adalah mendekatkan diri kepada Tuhan melalui pengorbanan dan kepedulian terhadap sesama. Daging kurban ditujukan untuk kaum fakir miskin, yatim piatu, dan mereka yang kurang beruntung, memastikan bahwa kegembiraan Idul Adha dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, proses distribusi ini berpotensi bersentuhan dengan kepentingan non-religius. Pihak-pihak tertentu, baik individu maupun kelompok politik, kadang-kadang memanfaatkan momen pembagian daging kurban sebagai ajang untuk membangun citra positif, mencari legitimasi, atau bahkan menarik simpati publik. Foto atau video saat menyerahkan langsung paket daging kurban seringkali beredar luas, disisipkan dengan narasi dukungan atau ajakan.
Fenomena ini menjadi "politik bantuan kurban" ketika distribusi tidak lagi murni didasarkan pada kebutuhan penerima, melainkan juga mempertimbangkan aspek geografis, demografis, atau bahkan afiliasi tertentu yang menguntungkan pemberi. Transparansi dalam proses pendataan dan penyaluran menjadi krusial agar bantuan tidak disalahgunakan sebagai alat kampanye terselubung atau bentuk "charity washing" untuk menutupi agenda politik.
Penting bagi kita untuk selalu kembali pada ruh sejati ibadah kurban: keikhlasan, ketulusan, dan kepedulian murni. Distribusi harus dilakukan secara adil, merata, dan tanpa pamrih, memastikan bahwa daging kurban benar-benar sampai kepada mereka yang paling berhak, tanpa embel-embel politik. Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan akan tetap terjaga di atas segala kepentingan sesaat.