Politik kartu prakerja

Kartu Prakerja: Jejak Politik di Balik Program Pemberdayaan

Program Kartu Prakerja, yang diluncurkan dengan tujuan mulia meningkatkan kompetensi angkatan kerja dan menyediakan jaring pengaman sosial, tak pelak menjadi salah satu arena kebijakan yang sarat dengan dinamika politik. Di balik semangat pemberdayaan, program ini memunculkan perdebatan dan sorotan yang mencerminkan tarik-menarik kepentingan dan prioritas.

Salah satu aspek politik paling kentara adalah alokasi anggaran yang fantastis. Dana triliunan rupiah yang digelontorkan memicu pertanyaan tentang efisiensi, akuntabilitas, dan potensi penyalahgunaan. Pemilihan mitra pelatihan dan platform digital, yang sebagian besar melibatkan sektor swasta, juga menjadi sorotan tajam. Isu tentang kualitas pelatihan yang bervariasi, potensi konflik kepentingan, hingga dugaan adanya "pemain lama" yang diuntungkan, menjadi bahan bakar perdebatan publik dan legislatif.

Secara politis, Kartu Prakerja juga menjadi cerminan tentang orientasi kebijakan pemerintah. Apakah program ini lebih condong sebagai jaring pengaman sosial darurat di masa pandemi, atau benar-benar investasi jangka panjang dalam peningkatan sumber daya manusia? Perdebatan ini mempengaruhi cara program dievaluasi dan dipertahankan. Bagi sebagian pihak, program ini adalah bukti keberpihakan pemerintah pada pekerja informal dan pengangguran; bagi yang lain, ia hanyalah stimulus jangka pendek tanpa dampak struktural yang signifikan.

Lebih jauh, aspek digitalisasi program juga memunculkan dimensi politik tersendiri. Kemudahan akses via daring di satu sisi, namun juga tantangan bagi mereka yang berada di daerah minim akses internet atau kurang familiar dengan teknologi. Ini menjadi isu keadilan akses yang tak lepas dari perhatian politis.

Singkatnya, Kartu Prakerja bukan sekadar program teknis pelatihan. Ia adalah lanskap kebijakan di mana kepentingan ekonomi, tujuan sosial, dan citra politik saling berkelindan. Masa depan Kartu Prakerja akan terus menjadi objek pengawasan dan perdebatan, menuntut transparansi dan akuntabilitas yang berkelanjutan dari para pembuat kebijakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *