Berita  

Gaya pemilu serta kerakyatan di negara-negara bertumbuh

Dinamika Pemilu dan Kerakyatan di Negara Bertumbuh: Antara Harapan dan Tantangan

Di negara-negara bertumbuh, pemilu bukan sekadar proses teknis pergantian kekuasaan, tetapi cerminan kompleksitas sosial, ekonomi, dan politik yang unik. Gaya pemilu dan konsep kerakyatan di sini seringkali memiliki corak berbeda dari negara maju, mencerminkan perjuangan menuju konsolidasi demokrasi yang utuh.

Gaya Pemilu yang Khas

Berbeda dengan model demokrasi liberal Barat yang kerap menekankan program partai dan ideologi, pemilu di banyak negara bertumbuh seringkali diwarnai oleh beberapa karakteristik khas:

  1. Personalistik dan Karismatik: Daya tarik figur pemimpin individu seringkali lebih dominan daripada kekuatan institusi partai atau platform kebijakan yang jelas. Pemilih cenderung memilih berdasarkan janji-janji personal, latar belakang, atau karisma kandidat.
  2. Patronase dan Klientelisme: Praktik pertukaran dukungan suara dengan janji material, jabatan, atau keuntungan langsung kepada kelompok atau individu pemilih masih marak. Ini mencerminkan belum kuatnya sistem meritokrasi dan rentannya masyarakat terhadap iming-iming jangka pendek di tengah kesenjangan ekonomi.
  3. Politik Identitas: Mobilisasi pemilih berdasarkan ikatan etnis, agama, atau daerah kerap menjadi alat efektif untuk menggalang dukungan. Hal ini dapat memperkuat kohesi kelompok tertentu namun berisiko memecah belah masyarakat dan mengikis identitas nasional.
  4. Institusi yang Belum Kuat: Badan penyelenggara pemilu, lembaga peradilan, dan penegak hukum seringkali belum sepenuhnya independen atau kuat, memungkinkan adanya intervensi politik, manipulasi, atau sengketa yang berkepanjangan.

Kerakyatan: Antara Pemberdayaan dan Populisme

Konsep "kerakyatan" atau kekuatan rakyat juga mengalami interpretasi yang dinamis di negara-negara bertumbuh. Di satu sisi, ini bisa menjadi manifestasi otentik dari aspirasi masyarakat yang menginginkan perubahan, partisipasi langsung, dan akuntabilitas dari penguasa. Gerakan kerakyatan yang otentik dapat menjadi pendorong reformasi dan pemberdayaan komunitas.

Namun, di sisi lain, "kerakyatan" seringkali dimanfaatkan oleh aktor politik untuk membangun narasi "kami versus mereka" (rakyat vs. elit), mengabaikan proses checks and balances, dan bahkan mengikis institusi demokrasi yang rapuh. Daya tarik retorika anti-kemapanan dan janji penyelesaian instan seringkali resonan di tengah ketidakpuasan publik terhadap korupsi atau ketimpangan. Populisme semacam ini berisiko melemahkan dialog konstruktif, memperkuat polarisasi, dan mengancam kebebasan sipil.

Tantangan ke Depan

Gaya pemilu yang unik dan interpretasi "kerakyatan" yang beragam ini menunjukkan bahwa perjalanan demokrasi di negara-negara bertumbuh adalah proses yang kompleks dan berkelanjutan. Pentingnya penguatan institusi demokrasi, pendidikan politik yang merata, penegakan hukum yang adil, serta pembangunan ekonomi yang inklusif menjadi kunci untuk memastikan bahwa pemilu benar-benar menjadi sarana legitimasi dan akuntabilitas, bukan sekadar ritual. Hanya dengan fondasi yang kuat, aspirasi "kerakyatan" dapat terwujud secara konstruktif, bukan destruktif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *